CoffVix

Cerita, opini, review dalam kemasan random

  • Home
  • Jalan-Jalan
  • Celoteh
  • Fiksi
  • Books
  • About Me



Menemukan hal-hal di luar dugaan selama perjalanan, itu menambah kesan yang lebih kena ketika kita mengunjungi suatu destinasi. Seperti beberapa waktu lalu. Dalam rangka merayakan status baru sebagai pengangguran setelah resign, saya kepengin jalan-jalan sepuasnya. Tipis ga papa yang penting sering :D

Setelah ada obrolan dengan teman tentang Merapi, kami sepakat untuk mengunjunginya. Bukan Merapi yang sering dipakai untuk lava tour sih. Tepatnya di Deles Indah, masuk wilayah Klaten.

Sebelum ke tujuan kami mampir dulu jemput temen. Cuaca lumayan gloomy, antara mendung dan panas. Kira-kira jam 10.30 kami start dari Klaten Kota. Di dalem mobil, mereka membicarakan rute, enaknya lewat mana, jalan pintas yang cepet dan less traffic. Pembicaraan yang membuat saya roaming abis, karena sama sekali nggak ngerti jalanan Klaten.

Kami memutuskan lewat jalur yang diprediksi lebih dekat. Iya memang (sepertinya) lebih dekat, tapi tidak lebih sepi. Di jalan, kami banyak berpapasan dengan truk tambang pasir, batu, dsb. Padahal lebar jalan tidak memadai untuk simpangan 2 buah roda empat. Mau tidak mau harus sebentar-sebentar berhenti buat gantian kasih jalan.

Setelah lewat jalur truk, jalanan semakin masuk ke desa, sempit, berbatu dan berkelok-kelok. Teman saya bilang dulu pernah kesini tapi dengan sepeda motor, dia tidak yakin apakah mobil bisa naik sampai atas. Ahemm…

Dan benar saja. Lebar jalan passss banget dilewati satu mobil. Kayaknya sih emang nggak diperuntukkan buat lewat roda 4. Lebih kayak jalan trail. Bahkan selama kami lewat, ga ada satu pun ketemu sama motor. Ha!

Duduk di depan membuat saya beneran tegang. Lihat kondisi jalan yang parah banget. Sampai tiba lah kami pada sebuah persimpangan jalan yang ga ada jalannya. Iya beneran ga ada jalannya. Hilang. Patah. Satu-satunya cara biar bisa tetep lewat adalah dengan menyusun batu-batu sebagai penghubung, dipasin sama ban mobil.

Pakbapak kerja bakti

Karena mereka minta didokumentasikan, jadinya saya ga bantuin angkat-angkat batu dong ya. Excuse. Setelah susunan batu udah siap pakai, in action. Dengan aba-aba tepat sasaran, mobil mulai bergerak, pelan-pelan. Saya turut serta ketir-ketir, takut bebatuannya tiba-tiba mblesek, atau ban mobilnya meleset dan perasaan-perasaan was-was lainnya. Lumayan tahan nafas sambil videoin.


As you see, eksekusi berjalan mulus. Sungguh, saya terkagum-kagum dengan kemampuan nyetir temen saya ini! Rasanya udah kayak pengen kasih standing applause sambil throwing confetti. Namun, atas nama gengsi demi menjaga ke-keren-an biar keliatan tetep cool, saya cuma videon sambil senyum dan bilang, “wehee.. lulus dong!”.

Setelah melewati those unpredictable road, kami masih harus melewati jalan setapak yang sama sekali nggak proper buat lewat mobil. Nanjak, sempit, berbatu. Sampai nggak sempet ambil gambar saking sibuknya berdoa.

Sampai di tujuan. Saya menemukan view yang super breath taking. Penyakit nggumunan saya kambuh, nggak bosen-bosennya bilang, “wah… apik” (bagus). Ya maklum, lama nggak ke dataran tinggi, sekalinya ketemu langsung heboh.




Pemandangan yang kayak gini lebih enak dinikmati dengan mata telanjang. Lebih indah dilihat langsung daripada difoto. Apalagi lihatnya sambil ngopi dan ngemil mendoan anget. Bisa nggak pulang.

Selain view, warga sekitar juga cukup kreatif pasang board dengan aneka ragam himbauan menarik yang bikin geli-geli gimana gitu :D

Hayoloh....

Maksudnya jangan coret-coret po'on, gitu?

Ehm... Ngomong-ngomong soal setir, setiap pergi-pergi bareng keluarga, saya sering mengamati Bapak yang sedang nyetir. Kadang juga sambil jelasin ini itu bab setir. Otomatis, sebagai anak perempuan yang (sok) berbakti kepada orang tua, saya menempatkan Bapak sebagai pria dengan keahlian nyetir paling mumpuni di mata saya. Tapi ya emang sih, beberapa sopir ex-kantor juga belum ada yang nyetir seenak Bapak.

Tapi setelah piknik yang ga sengaja offroad ini, kedudukan Bapak jadi tergeser. Temen saya ternyata nyetirnya lebih jago, selain enak juga santai. Tricky nya dapet. Patah-patahnya asik. Nanjak-nikung juga oke. Tapi ya… segimana jagonya temen saya, saya masih tetep menempatkan Bapak sebagai juara sih, biar ga dikira anak durhaka.

Setelah selesai ritual motoin manusia, landscape beserta lego, kami turun sekitar jam 12.30. Tentu saja tidak melewati jalur yang sama, pakai jalur umum. Waktu di pos retribusi, penjaganya ngeliatin kami terus dengan muka bengong dan mikir, “Perasaan tadi ga ada mobil naik, kok tiba-tiba ada yang turun?”

Just believe in miracle, Sir…

Mempunyai kebiasaan mojok di suatu tempat untuk ngobrolin segala macam keresahan hidup, membuat saya dan teman saya menaruh kedai kopi sebagai tujuan wajib ketika kami jalan bareng. Dan karena kami berdua sama-sama suka kopi, jadi tidak perlu pertimbangan apakah kedai yang akan kami datangi punya menu selain kopi atau tidak, seperti ketika saya jalan dengan teman yang tidak suka kopi.

Lalu, dari mana kami dapat info soal tempat mojok? Info awal sih mostly dari media sosial. Hanya saja keadaan di lapangan sering mengharuskan kami untuk mencari sendiri dengan cara muter-muter di daerah sekitar dimana kami berada. Pas udah nentuin hari ini mau ke kedai A misal, di jalan tiba-tiba kepengen harus mengunjungi ini-itu, membuat kami berada jauh dari kedai A. Ya sudah, cari di daerah sekitar dengan modal ingatan dan kalimat penenang “kayaknya disana ada…”

Oh ya selain itu, sebelum ngopi biasanya kami cari makanan berat dulu karena teman saya tidak bisa ngopi dalam keadaan perut kosong. Sama kayak saya yang nggak bisa mikir dalam keadaan perut kosong. Maklum otaknya di perut.

Berkeliaran di siang hari membuat kami sedikit kesulitan mencari tempat mojok yang buka pas matahari lagi anget-angetnya. Sekitar jam 3-an sore, waktu itu kami nemu Kedai CampBrown, berdasarkan ingatan saya dari teman yang pernah menyarankan untuk mencoba kedai ini. Berada di Jl. Honggowongso 117 B Jayengan, Serengan, Solo, persis di sebelah toko sepatu Bakti.



Mendapati kedai kopi yang sepi saat kita berkunjung, itu rasanya kayak dapat jackpot. Sebenarnya bagi kami tidak begitu masalah sih kedainya ramai atau tidak. Tapi kalau ndelalah ketemu yang sepi, dimana AC adem, suasana tenang dan sayup-sayup music slow jadi milik kami sendiri, ya kami nggak nolak. Namanya juga mojok. Tujuan utama kami adalah numpang ngadem sambil membicarakan masa depan. Yah… karena belum ada yang bilang “masa depanmu adalah tanggung jawabku”, jadinya mau tidak mau harus kami sendiri yang bertanggungjawab penuh atas masa depan kami masing-masing. Oh dan double jackpot kalau baristanya tjakeup :D


Pesanan tampak sebagian
Apa yang kami obrolkan? Saya lupa bagaimana awalnya sampai teman saya bisa curhat menggebu-gebu tanpa jeda masalah kerjaan dan orang-orang di kantornya yang, well, I don’t really know sih, tapi dari cerita yang saya tangkap, they are, ehm… more like… jenis spesies yang meribetkan segala hal, tidak praktis. Kadang malah over kapasitas, ibarat perkara belanja gula yang bisa dihandle OB harus ditangani langsung oleh GM. Kan wagu. Juga seperti pada kasus: nungguin pasangan peka tanpa ngomong apapun. Nggak praktis kan? Lha masak pengen makan sawut aja harus nungguin dia peka, ya kesuwen. Tinggal ngomong, “Mas, pengen sawut.” Selesai. Langsung delivery setenongan. Praktis to?

Mungkin karena sebelumnya dia hanya bisa ngadu ke saya via whatsapp, jadi sekalinya ketemu langsung dimuntahkan dan menganggap saya ini jamban. Padahal, keberadaan saya sebagai jamban pun tidak banyak membantu, wong saya tidak sekantor dengannya, pun tidak kenal dengan orang-orang yang dia ceritakan.

Jadi teman saya ini dulunya bekerja di sebuah instansi yang, sebenarnya, sudah cukup besar, tapi tidak sebesar instansi yang dia tempati sekarang. Begitu juga dengan salary, berbanding lurus. Tapi dia merasa lebih nyaman kerja di tempat yang dulu meskipun gajinya tidak sebesar kerjaannya yang sekarang. 

Orang-orang seperti teman saya ini adalah tipe orang yang ngoyak ayem (yang bagi beberapa orang spesies seperti ini dianggap kurang visioner). Standar kepuasan seseorang dalam bekerja itu sangat personil, sangat beda satu sama lain. Ada yang ambisius, harus berada pada jabatan tertentu dulu barulah kepuasan bisa dirasakan, ada yang kalem-kalem aja asalkan ada pemasukan.

Dia juga bercerita tentang kejengkelannya terhadap screenshot. Rekan kerja teman saya ini hobi banget kirim screenshot, bahkan untuk pertanyaan sesingkat, misal “udah pesan snack belum?” dijawab juga dengan screenshot percakapan antara rekan kerja dengan penyedia snack. 

Saya pernah berada pada satu fase hubungan dimana setiap pertanyaan “lagi dimana?” dari saya selalu dijawab dengan send picture keadaan saat itu. Ini 11:12 dengan kasus teman saya. Sekali dua kali sih nggak apa-apa ya. Tapi kalau setiap pertanyaan dijawab dengan gambar, kesannya kayak kita nggak percayaan banget. Menurut kami, ada hal-hal yang tidak seharusnya dijawab secara saklek, cukup dengan menjawab seluwesnya saja.

Udah pesen snack? – Udah, pesen white snack legend
Lagi dimana? – Di empang nih kasih makan piranha
Kan enak.

Saya sih beruntung, bisa langsung menegur untuk tidak sering-sering kirim gambar. Tapi teman saya tidak, yang dibisainya hanya mbatin dan jengkel. Mungkin itu sebabnya sekarang dia kena obesitas. Kebanyakan memendam, dilampiaskan ke makanan.

Jika teman saya curhat mengenai kerjaannya, sebaliknya, apa yang saya curhatkan kepada teman saya ini? 

Tidak ada. Selain mengeluh persoalan pertanyaan “kapan kawin?” yang nggak kelar-kelar.


************

Informasi Kedai Camp Brown - Solo
- Jam Buka : 10.00 - 22.00 (open daily)
- Range harga: Cappuccino di frame 15.000, yang lain, lupa :D
- Instagram: @kedaicampbrown 

Sesungguhnya nih, sebenernya, to be honest, saya suka ga enak tiap kali dapet komentar, “jalan-jalan mulu nih duitnya banyak,” dan komentar-komentar bernada sejenis pada foto yang saya upload di sosial media, bahkan di tempat seprivat BBM. That's why setahun belakangan saya sedikit mengurangi intensitas upload foto pergi-pergi kecuali untuk kepentingan ngeblog.
Bagi saya, jalan-jalan tidak selalu identik dengan harta berlimpah, duit turah-turah. Tapi lebih kepada keluar dari rutinitas. Making time untuk refreshing. Ada duit lebih yang bisa dialokasikan buat jalan-jalan rada jauh ya Alhamdulillah. Tapi kalau belum ada, ya ga maksa.
Menjadi turis di kota sendiri, itu bukan ide yang buruk lho buat refreshing. Kebetulan 26 Desember kemarin, kantor dikasih libur sama Bos. Jatah libur yang nggak disangka-sangka, mengingat peak season. Lumayan ada jeda 2 hari, sehari buat kumpul keluarga, sehari buat jalan-jalan. Kemana? Ke Pasar Antik Triwindu. 15 menit dari rumah, menghabiskan bensin tidak lebih dari seperempat tanki matic full. Tipis ya? :D

Bukan pertama kalinya kesini, sudah berkali-kali. Bukannya tidak bosan, tapi penasaran. Beberapa kali kesini tapi ga pernah bisa dapat hasil foto yang layak tampil. Buat saya yang kemampuan fotografinya di bawah rata-rata banget ini, ngambil foto di pasar Triwindu tantangannya banyak dan sulit. Mulai dari pencahayaan yang ga terlalu terang, gang antar kios yang sempit, kerapatan barang dagangan yang super padat dan juga aroma mistis. Hmm….
Sekilas tampak dari luar, pasar Triwindu ini kelihatan sepi. Pas di dalam, ya memang sepi. Ha! Namanya juga pasar barang antik, target marketnya jelas, pengunjung juga segmented. Di lantai 1 banyak kios yang aktif, aktivitas jual beli ramai disini. Barang-barang antiknya juga beragam. Mulai dari yang emang udah beneran tua, sampai replika-replika yang mencontoh konsep jadul. Barang-barang vintage gitu deh.



Di lantai 2 ga cuma barang antik, tapi juga banyak onderdil-onderdil lawas. Tapi aktivitas jual beli dan tawar menawar tidak seramai di lantai 1. Kiosnya pun juga banyak yang tutup. Saya iseng memasuki gang demi gang, yang sepi, gelap, pengap karena banyakan dijadikan gudang.
Pas masuk di salah satu gang yang tak bertuan karena emang ga ada orang disana entah itu penjual maupun pengunjung, dengan penerangan minim dan penataan barang yang berantakan, kok tiba-tiba saya menangkap sayup-sayup suara radio kemresek dari kejauhan. Pas mendekat, hmm…. ternyata ini.
Gang nya sepi banget bo’ dan kiosnya ga ada yang jaga. Sampai saya balik pun masih tetep ga ada yang jaga. Bisa dibayangkan pemandangan seperti ini ditambah suara latar belakang radio kemresek yang menyiarkan lagu jadul lengkap dengan suara penyiarnya dengan gaya bicara Bahasa Indonesia yang juga jaman dahulu banget. Entah ini setingan, entah memang pemilik kios yang anak radio, yang jelas lama-lama dinikmati jadinya asik juga, asik-asik serem gitu. Pas udah kedapetan serem beneran, ngibrit aja udah.

          Baca Juga: Jalan-Jalan Malam di Kota Solo

Pindah ke gang lain. Muter-muterin kamera, sampe dapet angle yang bagus, tapi ga dapet-dapet. Pindah-pindahin kamera biar dapet cahaya yang pas, ga dapet-dapet juga. Malah ngedapetin temen yang berdiri lama di depan pintu kios sambil mulutnya komat-kamit. Sebelumnya dia sempet bilang, “Kalau kita beli barang yang beneran ‘antik’ disini, kira-kira ada yang ngikutin kita sampe rumah ga ya?”. Curiga beneran ada yang ngikutin dia… Ga taunya lagi bacain ini.
Belajar spelling
Coba perhatikan mukanya

Jadi selain menjual barang-barang antik, Pasar Triwindu juga menawarkan mesin waktu. Balik ke masa kecil dimana barang-barang disini masih akrab banget sama kehidupan kita, dulu. Duit seratusan merah, TV tabung hitam putih, radio analog, poster nyentrik yang ditempel di warung-warung, kalender mba-mba seksi, many moreee. Selesai sightseeing di Pasar, kita bisa duduk di bawah pohon rindang di jalur pedestrian, tepat di depan Pasar, sambil nyemilin Es Puter.


Dan refreshing pun bagi saya juga tidak harus identik dengan jalan-jalan. Bisa jadi jalan-jalan justru bikin nambah stress. Kalau jalannya pake duit pinjeman :D
Do whatever make you feel relax and less stress! As simple as that.

Oh dan ngomong-ngomong, fotonya masih belum bisa bagus juga ya... :')

Saya tidak tahu bagaimana awalnya saya bisa suka kopi. Kalau dirunut-runut, seingat saya, dulu, saya tidak pernah punya gebetan yang maniak kopi hingga mengharuskan saya untuk mengikuti kesukaannya demi menjaga frekuensi agar tetap satu gelombang dengannya. Atau pacar? Seingat saya juga, dulu, saya tidak pernah punya pacar yang suka kopi, karena saya memang tidak pernah punya pacar. LOL. 
Eh, pernah ding sekali, tapi (sepertinya) bukan maniak kopi juga.

Saya juga tidak tahu, kenapa hukum “kopi bikin melek” tidak berlaku pada sistem tubuh saya. Pola tidur saya tetap tidak berubah meskipun habis bergelas-gelas kopi. Kalau ngantuk, ya sudah ngantuk saja, tidak bisa dicegah dengan kopi sebanyak apapun. Kecuali bubuk kopi ditaburkan ke mata, atau biji kopi dicolokin ke retina, akan lain ceritanya.

Dua bulan belakangan, saya rajin sekali minum kopi hitam. Awalnya sepele, hanya karena melihat stok kopi instan yang masih banyak tapi sudah mendekati expired. Padahal harga per bungkusnya cuma 7000an, tapi eman-eman. Ya sudah, saya bikin sedikit-sedikit (rencananya) sampai habis. Belum sampai habis, sudah dapat stok yang baru. Oleh-oleh teman dari Bengkulu. Ya, kopi Bengkulu. Kadar rajin ngopi semakin meningkat.

Sampai pada saat beberapa waktu lalu, saya jalan dengan teman baru, di Kota Lama, Semarang. Zakia namanya. Kami kenal dari kolom komentar di blog ini, pada postingan soal kopi. Kebetulan dia penyuka kopi juga. Pas jalan, saya sedang asyik memfoto sana dan memfoto sini karena di Kota Lama saat itu sedang ada event pameran biennale. Sekelebat ada seorang Bapak menuntun sepeda yang di boncengannya terdapat kotak seperti penjual es.

Pict by Zakia
Saya mengabaikan, sampai Zakia bergumam, “brewing everywhere,” sambil membaca stiker yang nempel di sepeda si Bapak. “Itu jualan kopi ya Mba?” tanyanya kepada saya yang pandangannya masih belum lepas dari kamera. Lalu saya menoleh ke si Bapak, “iya deh kayaknya.” Tanpa komando, kami langsung menghampiri si Bapak dan percakapan pun terjadi. Ada satu hal esensial yang tidak saya suka dari diri saya, yaitu, sering lupa menanyakan nama kepada orang asing jika sudah terlibat pada obrolan yang menyenangkan. Ya sudah, kita panggil saja beliau, Bapak Kopi.


Stiker dengan gaya hashtag di atas cukup menarik perhatian saya dan Zakia. Tanggal 1 Oktober 2016 kemarin, di Semarang ada event peringatan International Coffee Day di Setos. Nah, Bapak Kopi dapat stiker itu dari event ini.

“Saya diundang kesana. Ketemu sama artis siapa itu namanya, yang pinter bikin kopi. Saya dikasih topi ini. Terus juga dikirimi lagi 3 macem topi sama kayak gini,” katanya dengan senyum bangga sambil menunjuk topi yang dipakainya. Artis yang dimaksud adalah Rio Dewanto.


Segini Rp 5.000,00
Jadi, kopi yang dijual Bapak ini bukan kopi yang diseduh di tempat, tapi biji kopi yang dijual utuh dengan jasa giling. Bisa beli biji kopinya saja, bisa tambah jasa giling dengan harga sama. Setiap 1 ons biji kopi, dihargai Rp 5.000. Kopi yang dijual adalah Kopi Temanggung. Karena digiling pakai grinder manual, jadi lumayan lama nungguinnya. Sembari menunggu, kami mengobrolkan banyak hal. Mulai dari asal Bapak yang dari Tegal dan sudah puluhan tahun jualan kopi, sampai menceritakan bagaimana “juragan”nya begitu idealis dalam menjual kopi.


Aroma kopinya.... Hmmm.... Robusta... Kecium kemana-mana, mengundang bapak-bapak di sekitar jadi ikutan nimbrung dan suasana berubah menjadi seperti penjual sarapan pagi-pagi yang dikerumuni ibu-ibu sambil ngegosipin apapun. Bedanya, kali ini yang bergosip adalah bapak-bapak, dengan 2 anak gadis (saya dan Zakia), berada di antara mereka. Apa yang mereka bicarakan? Ya tentu saja masalah kopi, tentang campurannya, tentang makanan pendampingnya, kapan waktu yang pas untuk menyeduhnya. Tidak ada pembicaraan berat seperti menyoal ribut-ribut pilkada. Ringan tapi merekatkan. Tidak tendensius.

Di rumah, saya coba bikin satu cangkir. Tanpa campuran, kecuali gula. Ampasnya cukup oke buat dicemilin. Hasil manual grinder pasti lah tidak akan semulus mesin giling,  teksturnya jadi gede-gede. Aromanya juga segar, di mulut terasa seperti merekah, blooming. Si Zakia juga bilang, kopinya enak dan bikin ketagihan. Padahal beberapa waktu lalu dia cerita ke saya, sedang berusaha mengurangi konsumsi kopi hitam. Hahaha... Kalau masih merasa nyaman, jangan sengaja menghindar, Zak!

Sampai postingan ini diterbitkan, kopi yang saya dapat dari Rio Dewanto, ehm, maksud saya, kopi yang saya dapat dari Bapak yang dikasih topi sama Rio Dewanto, masih bisa diseduh untuk 3-4 cangkir. Mau join?

Saya pernah dapat tugas mendadak dari kantor untuk mendampingi tamu dari Medan, kebetulan pekerjaan beliau di Dishub dan berhubungan dengan IT. Ketika makan bersama, beliau bercerita banyak tentang pelatihan IT yang sering diikuti, sedikit banyak saya nyambung lah ya, meskipun lebih banyak keliatan begonya. Sampai pada suatu ketika tiba-tiba beliau bertanya,

“Mbak bukan asli Solo ya?”
“Asli Pak. Putri Solo saya”
“Kok logatnya nggak lemah lembut kayak orang Solo?" 
Ehmmm... bukan cablak ya, mungkin hanya kurang halus :)
"Lama di luar kota ya?”
“Wah seumur hidup saya di Solo Pak nggak kemana-mana,”
“Oh… Habis gaya bicaranya beda, kayak udah kecampur. Trus ini batik yang dipakai batik Solo juga?”

Waktu itu karena buru-buru, saya hanya memakai pakaian sekenanya. Outer blazer batik murahan monokrom dan inner kaos putih dagadu. Iya, dagadu Jogja. Karena blazer saya beli di Solo, asal saja saya jawab “iya”. Lalu si Bapak bertanya lagi “Bagus ya. Nama motifnya apa? Saya pingin belikan buat istri.” And I feel like….. pengen ngilang aja teleport kemana gitu karena malu ngaku orang Solo yang pakai batik Solo tapi nggak ngerti apa-apa.

Well, dari situ saya belajar, masa bodoh dengan tempat tinggal sendiri ternyata bukan hal yang bagus untuk pergaulan, apalagi wawasan. Sejak saat itu, saya tidak mau menjadi apatis dengan tempat tinggal saya sendiri. Dulunya saya tidak peduli dengan event budaya di Solo. Sebodo amat mau ada pertunjukan ini itu asal pagi kerja sore pulang malem gogoleran aja udah kelar urusan hidup ga mau tau sama acara yang disana-sana. Tapi sekarang, saya rutin mengecek akan ada event apa di bulan depan. Bahkan nyimpen Calendar cultural event juga di handphone. Dampaknya, belakangan jadi seneng posting apa-apa tentang Solo di blog. Hihiiw...



Event terbaru di Solo bulan ini ada Bamboo Biennale di Benteng Vastenburg. Dibaca bi.en na:le, bukan binal :D
Adalah event pameran instalasi bambu yang diadakan setiap dua tahun sekali. Biennale, biennial, sekali dua tahun. Pameran bambu ini tidak asal-asalan. Ada tema dan filosofinya.



Artisan
Tahun 2014 adalah tahun pertama Bamboo Biennale terselenggara, punya tema BORN, melahirkan kembali budaya bambu yang udah kegeser. Menjadikan bambu lahir kembali sebagai produk kekinian. Terus di tahun ini dilanjutkan dengan tema HOPE, harapan untuk orang-orang yang berjuang melestarikan kerajinan bambu. Banyak pihak yang ikut berpartisipasi dalam pameran ini. Mulai dari desainer, artisan, Industri Kecil Menengah, sampai UMKM, yang visi misinya sama, memperkenalkan kerajinan bambu terapan biar masyarakat pada ngeh kalau bambu masih hidup, syukur-syukur dari sini bisa menginspirasi untuk terjalin kerjasama bisnis.


Home decor
Oh ya, Bamboo Biennale ini juga didukung oleh BEKRAF loh. Tau BEKRAF kan? Itu, Badan Ekonomi Kreatif, lembaga non kepemerintahan baru, yang sekarang jadi sahabatnya seniman dan artisan


Rumah Oksigen
Waktu saya cermati Bamboo Biennale ini nggak sekedar pameran kerajinan. Jadi kerajinannya gede-gede, huge, lebih kepada instalasi, kayak ada arsiteknya gitu. Dan benar saja, waktu saya baca di web resmi Bamboo Biennale, tahun ini mengambil sub-tema shelter. Jadi karya yang ditampilkan harus bertema ruang, syaratnya di dalamnya bisa dipakai untuk duduk, berdiri, berjalan, untuk desain interior pokoknya harus jelas kegunaannya. Setiap karya juga pengerjaannya harus dengan workshop yang nggak sebentar.


Bagi yang sudah kesana pasti bisa ngerasain betapa setiap karya bambu disana punya detail yang sangat rumit tapi juga punya ruang cukup besar, bahkan satu ruang bisa muat untuk 5 sampai 10 orang. Kalau belum, coba mampir, banyak spot bagus yang bisa dijadikan untuk objek selfie, sampai akhir bulan ini. GRATIS!

Kalau dihitung-hitung, jumlah situs booking online untuk keperluan traveling sekarang buanyak banget ya. Mulai dari Agoda, Traveloka, Pegipegi, dan sekawanannya yang masing-masing punya rate, sistem booking dan program promo bersaing. Yang belakangan menarik perhatian saya adalah AiryRooms.

Berawal dari rencana jalan ke Bandung (yang sampai sekarang belum kesampaian juga pffftt), iseng saya cari-cari penginapan dengan budget sekecil mungkin. Orang-orang biasa menyebutnya hotel budget, karena memang fasilitasnya benar-benar disesuaikan dengan budget. Klik sana sini lalu nemulah si Airy ini di Traveloka. Waktu itu saya cuma mbatin, “Airy ini apa sih? Kok kamarnya bisa seragam dan bagus gini, tapi harganya murah-murah”. Karena partner jalan belum bisa ambil cuti, jadinya praduga terhadap si Airy ini cukup pada tahap mbatin saja.

Kebetulan beberapa waktu lalu, saya dimintai tolong teman untuk mencarikan guest house di sekitaran Solo Utara dengan budget 200ribuan per kamar. Dari sini lah saya mulai kenal deket sama si Airy ini.

Waktu cari penginapan di Traveloka dengan arahan destination near by me (posisi saya saat itu sedang berada di rumah, Solo pinggiran), kamar dari Airy Rooms ini berada di urutan atas dengan pilihan sort by lowest price. Lalu arahan destination saya ganti dengan Solo Kota, ada lagi si Airy Rooms di list dengan sort yang sama. Pertanyaan yang sama muncul lagi,


"Airy-airy ini apaan sih?"

Dulunya saya pikir Airy Rooms adalah manajemen hotel lokal seperti Santika atau Tauzia, yang mengelola hotel dengan banyak brand. Ternyata si Airy ini adalah VHO (Virtual Hotel Operator). Modalnya cuma teknologi dan seleksi. Tapi mereka nggak cuma jualan kamar kayak situs-situs booking online yang lain, tapi juga ikut mengelola. Kalau Santika dkk mengelola keseluruhan manajemen hotel, Airy ini mengelola beberapa kamarnya saja. Dia bekerjasama dengan hotel-hotel budget di seluruh Indonesia, yang menurut Airy sudah lolos seleksi sesuai kriteria mereka. Jadi misal nih, saya punya guest house atau hotel budget dengan jumlah kamar 20 unit, lalu bermitra dengan Airy, nah 1 atau 2 kamarnya akan dikelola oleh Airy. Pelayanannya pun akan disesuaikan dengan standart pelayanan dari Airy.


Aplikasi AiryRooms di PlayStore
Karena udah tau Airy ini apa, saya tinggalkan Traveloka dan beralih ke website officialnya si Airy. Dan benar saja, ketik destinasi Solo, voila! Banyak banget tawaran kamar low budget dengan fasilitas sekelas hotel bintang. Scroll ke bawah, ada aplikasi PlayStore nya, pindah lagi saya dari web official menuju aplikasi. Asik nih ada mainan baru. Oh dan ngomong-ngomong booking lewat aplikasi android lebih murah lho daripada lewat website. Ya meskipun selisihnya cuma Rp 10.000 - Rp 20.000 sih, tapi kan itu potongan harga, dan buat saya itu lumayan (dasar wanita :D)


Random

Meskipun bekerjasama dengan hotel budget atau guest house yang sudah punya brand sendiri, di Airy tidak akan ditampilkan nama brand dari mitranya tersebut sebelum kita melakukan pembayaran. Mereka hanya menamai dengan nama jalan atau daerahnya saja. Buat ngakalin, copas aja nama jalan atau daerahnya ke mesin pencarian, kalau beruntung akan muncul nama brand yang menjadi mitranya :D

Tampilan website
Ini bisa jadi kekurangan sekaligus kelebihan. Karena Airy nggak menampilkan nama brand mitra, jadi yang kita dapet adalah hasil gambling. Bisa dapet kamar di guest house, home stay, bisa juga di hotel. Kalau di mansion sih jelas nggak mungkin :D


Kamar yang saya dapet?

Saya dapet kamar di Victoria Guest House, Jl Pajajaran Utara I no 44 Sumber Solo, dengan harga Rp 153.900 non breakfast. Di situs sebelah, per kamarnya dijual Rp 244.000 include breakfast (mayan selisihnya bisa buat jajan cilok). Saya pikir dengan harga segitu paling cuma dapet fasilitas sekelas kamar melati dan tidak semua fasilitas yang ditawarkan worked. Tapi ternyata beyond expectation loh. 










Kondisi kamar persis seperti yang di gambar lengkap dengan berbagai printilannya (amenities, snack dan kopi/teh gratis sepanjang hari). Udah gitu ACnya nyala bagus dan air hangatnya juga worked.

Jadi gimana? Masih takut mahal tidur di tempat nyaman? :D



Sumber gambar: Dokumen pribadi dan dari sini

What's the best part from being alone? Kita bisa nentuin tujuan kemanapun yang kita suka. Tanpa tawar menawar.

Kayak malam ini. Disponsori oleh keadaan home alone ditambah televisi ruang tengah yang mendadak mati total setelah sebelumnya terjadi drama suara letupan dari dalem, berangkatlah saya nenteng laptop kemana-mana. Kepinginan yang utama adalah ngopi. Karena menurut meme yang beredar di display picture BBM disebut bahwa KOPI means Ketika Otak Perlu Inspirasi (bisaan aja netijen mah). Yaaa meskipun sebenernya saya lebih butuh duit sih ketimbang inspirasi.






20.22
Check in time. Cuma ada saya dan tiga pasang tamu lain di tempat segede ini. Kok rada sepi ya, padahal kan ini malem minggu. Oh ternyata emang saya yang kepagian. Setelah saya duduk, buka laptop, buka handphone dan mengabari beberapa orang yang perlu dikabari, tamu-tamu yang lain mulai berdatangan dan meminta tanda tangan saya. Nggak juga.

20.37
Asik, ada lagi yang dateng. Mbak-mbak yang, well, not that glam, tapi menarik, cantiknya effortless, duduk di kursi depan saya dan membuat saya merasa seperti remah-remah rengginang.

20.45
Ada lagi segerombolan anak muda dateng. Tiga cowok dan kesemuanya nyandang distro, genre hip hop, semacem berkiblat pada Young Lex. Tapinya mereka bingung, mau pilih tempat duduk yang mana.
"Kene wae."
"Kene peteng lho. Kono wae"
"Yowis yoh mrono."
"Tapi kono rame i."
Ahelah, Dek....

21.05
Beberapa tamu sudah pulang dan mbak yang sepertinya sedang ultah, yang rame-rame di depan tadi masih asik ketawa-ketawa dan selfie-selfie ringan. Duh, saya kok jadi kangen masa-masa begini. Kangen jaman-jaman awal kerja, baru seneng-senengnya bisa cari duit sendiri dan hedon kemana-mana. Sekarang lebih ke prihatin. Nabung buat sekolah anak. (Hah?)

21.21
Uhmm... kopi udah abis. Tapi kentang masih setengah porsi. Wait, lagu yang diputer disini dari tadi Tulus mulu. Tapi suaranya kok kaya cewe ya.
...
...
...
LOL. Ternyata ini suaranya Tulus dinaikin. Mp3 nya dapet dari mana bisa ketebak :D

21.42
Saya masih disini. Dan sendirian. Dan seperti biasa. Orang-orang masih menganggap tabu "cewe pergi-pergi sendirian". As a proof, dari hasil mengedarkan pandangan, ketika ada ketemu tatap mata, gazing-nya kayak yang bilang, "sendirian, apa asiknya sih",

Sama seperti ketika menonton bioskop sendirian. Mulai dari awal beli tiket, petugas bioskop selalu make sure ketika saya bilang "satu saja", rata-rata dari mereka akan menanyakan lagi "satu orang?". Yakali mbak satu bus.

21.53

Eh nemu korek nyelip. Yellow Truck ngerti bener selera lelaki. Terutama lelaki yang suka kelupaan bawa korek. Sebats dulu, bang.... :D

21.56

Karena kursi depan udah sepi, bangkunya udah pada kosong, dan udah diwarning juga ga boleh pulang kemaleman, sebagai anak santri yang taat perintah jam malam, live report sampai disini aja.


Terimakasih sudah berkenan membaca dan maafkeun bahasa yang acak-acakan karena ga pake edit.
Selamat bermalam minggu, selamat bermalam panjang ^^
Postingan Lama Beranda

Hi!

Terimakasih ya, sudah berkenan mampir dan membaca tulisan ala kadarnya disini. Looking forward for your next visit.

Warmest regards,
Emma

Kategori

Amusement Park Buku Candi Celoteh Fiksi Gunung Gunung Kidul Jakarta Jalan-jalan Jogja Kafe Kuliner Nongkrong Pantai Review Semarang Solo

INSTAGRAM

Twitter

Tweets by @emmavixel

Hot Shot

Pancaroba di Gedong Songo

Perpindahan musim dari kemarau ke penghujan sepertinya memang bukan waktu yang tepat buat jalan-jalan ke daerah yang didominasi oleh pep...

Popular Posts

  • Coffee Shop di Solo
  • Cecandian dan Tebing Breksi, Jalan-Jalan Seikhlasnya
  • Jalan-Jalan Malam di Kota Solo
  • Jalan-Jalan Murah: Semarang City Tour
  • Duh Dek… Fangirling-an-mu Itu Lho…
Diberdayakan oleh Blogger.
Copyright © 2015 CoffVix

Created By @emmavixel